Senin, 03 Maret 2014

I just want ...

      kraaaak.... Pintu tua itu aku dorong dengan perlahan. "Assalamualaikum.." dengan nafas yg terengah aku pun berhasil meluncurkan salam ke suatu ruangan yg sunyi n asing. "Maaf, nomer tempat duduk hari ini menurut apa ya pak?" sejenak kelas yg hening dan hanya ada suara pensil yg menggores lingkaran kecil pada selembar kertas itu menjadi tatapan tajam penuh tanda tanya besar yg menusuk batin ku, alis dari raut wajah seorang yg persis di depan papan tulis suci itu terangkat sambil menatap tubuh ku yg berada di antara pintu dan jendela kaca. Suara tanggapan yg keluar dari seorang laki2 ½ abad itu
sungguh membuatku ingin segera meninggalkan situasi yg begitu membuat perutku mual, dan bahkan saat aku kembali merasakan aroma duri di sudut ruang itu aku merasa ingin mengakhiri tulisan ini. Kata2 yg keluar dari mulutnya membuat kaki ku berjalan bak layangan  tak berbenang yg diterpa topan . Bagaimana bisa aku menemukan tempatku menjawab pertanyaan yg penuh delima n menghitamkan lingkaran kecil di selembar kertas di antara puluhan kelas di 3 lantai gedung tua ini sekaligus? Sedangkan waktu tak sudi bertoleransi pada ku, sedetikpun itu. Akhirnya aku menuruni anak tangga untuk segera mendarat di lantai dasar, dan ntah knapa sanubari ini membawaku lari menuju ruang konseling. Belum sampai kaki ku menginjak lantai depan ruang itu, aku berpapasan dengan seorang wanita yg dulu pernah mentransfer ilmu kewirausahaan saat aku masih mengenakan badge pertamaku di lembaga pendidikan ini. Nafasku sedikit lega, namun saraf mata ini sekuat tenaga masih menahan air yg ingin terjun bebas melewati 2 tebing pipi saat ku ceritakan kronologi keGalauanku ini. Suara yg tak bisa membohongi suasana pedih batinku ini pun terdengar oleh beliau, dengan paras yg tak kubuat melas dan memang asli paduan rasa lemas dan cemas akhirnya membawa tubuhku yg sedikit lusuh menuju ruang Guru untuk memecahkan teka-teki ini. "Terima kasih bu," setelah mendengar saran dari beliau dengan cepat akupun meninggalkan wanita berlipstik merah dan berkerudung itu.

    Di ruang yg telah sampai ku tuju ada beberapa guru yg berbincang-bincang. Suasana pun berubah layaknya air mineral yg masuk freezer saat langkah ku semakin dekat dengan mereka. Aku tak menghiraukan hal itu, yg terpenting aku harus berhasil 4 mata dengan seorang wanita yg notabene panitia. Setelah beberapa menit aku menjelaskan kronologi kepada beliau, aku pun sukses mendapatkan nomer ruang yg sedari tadi telah ku cari. Ucapan terimakasih tak lupa ku tinggalkan, kecepatan berjalan ku pun bertambah. Anak tangga menuju lantai dua membuat sang waktu semakin meninggalkan ku, jarum jam dinding di deretan ruang sunyi yg ku lewati seakan sedang melakukan kompetisi, tak seperti biasanya saat ku menunggu berakhirnya jam pelajaran matematika di kelas.

    Langkahku perlahan mengurangi kecepatan dan terhenti pada sebuah ruang dengan suasa yg sama, sunyi sepi  tak sedikitpun ada bunyi layaknya rumah tua tak berpenghuni, selembar kertas biru bertuliskan "Ruang 22" yg perpegang erat pada tubuh jendela kaca membuatku yakin bahwa itu adalah letak tempatku meletakkan raga ku yg lesu, wajah2 penghuni ruang inipun berbeda dengan ruang pertama yg menyesakkan ku tadi, wajah2 ini tak asing bagi indera penglihatanku, yup!! keyakinanku pun utuh dan keberanianku pun terkumpul menggerakkan langkah ku masuk ke dalam area menegangkan itu, dengan lirih akupun kembali memberi salam dan segera mencium tangan seorang wanita dengan paras tegas. Aku pun tak menghiraukan lelaki yg duduk di dekat pintu, fikirku perwakilan saja dan tak usah keduanya harus ku datangi, cukup 1 dan itu mahramku. Tak ku sangka kata2 yg keluar dari mulut beliau begitu menyejukkan hatiku, menggugurkan rasa penat, menghapus noda Galau, dan memberi ku lentera menyusuri jembatan gelap di cerahnya pagi ini, bahkan tak mempersoalkan kedatanganku yg lebih awal dibanding penjual pentol di depan Toko Grosir Pionir SMK ku.

    Alhamdulillah... :) hanya 15 menit waktu yg ku buang ke awan, terbawa angin hingga kembali ke alam. Sebelum ku melewati pagar rumah dan mengayuh sepedha bermesinku, aku telah mengantongi 30 menit waktu sebelum bel ujian berbunyi, aku pun tak membuat jadwal keGalauan ini, bahkan aku pun tak hobi membuat sensasi di depan para penguji seperti pagi ini. Sungguh sang waktu, dengarlah bisikan hati kecilku, perhatikan kata2 yg telah ia rangkai, "Aku hanya tak ingin ibu dan nenekku berjalan kaki menyusuri jalanan aspal untuk mengambil alat yg dapat ditukar dengan sesuap nasi. Aku hanya tak ingi membuat kaki2 mereka terluka sebab luasnya jarak yg terbentang. Aku hanya tak ingin ada nanah di sela jari kaki mereka berdua. Aku hanya tak ingin Raja siang mengucurkan keringat mereka.  Aku hanya tak ingin merugi di hari nanti saat aku hanya dapat melihat paras mereka untuk yg terakhir kali." Ya, hanya itu yg ingin ia katakan. Dan sang waktu? Kalau pun tadi kau telah meninggalkan ku, tak apa. Suatu hari akan ada masa di mana aku menunggu kedatanganmu.

2 komentar:

  1. bahasamu sastra banget oh furiiiiii :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. walah.. masak?? tapi bahasa ku gak sansekerta loh zom.. :D

      Hapus

Udah ngejanya? thanks yak... :)))) tapi gak keren donk kalo gak koment, gak sexy donk kalo gak ngisi, koment apa aja boleh.. yg penting bisa dieja. Tinggalin jejak lu juga yak biar gak disangka Maling.. :)