Kamis, 08 Mei 2014

Jejak gelombang tua

Jemariku masih menggenggam tubuh pop mie yg hangat. Asap dengan aroma ayam spesial masih menyelubungi dua lubang hidungku, menari di depan wajah ku yg sedari pagi menikmati senyum mentari. Sejenak kumainkan lekuk tubuh mie instan dengan garbu plastik mini berwarna putih. Ku biarkan dia berendam untuk beberapa detik sebelum memasuki gua gelap gulita di bawah dada. Sesekali ku adukk cup itu untuk sekedar memancing aroma-aroma lada kental yg mengendap.

Kaki-kaki ini sengaja ku telanjangi, sebab besi pembatas di depanku terasa licin saat sepatu_sandalku menumpang di punggungnya. Rasa beku yg menempel di telapak kaki terbayar dengan hangatnya jemari tangan yg masih mendekap cup hangat. Sesekali jemari kakiku berdendang mengikuti alunan ombak yg tak henti meleburkan suasana sunyi. Bersama dengan suara kuah hangat yg kuseruput perlahan, kedua bola mataku kembali terpana pada gemerlap lampu malam yg semakin menjauh dari pandangan, semakin menjauh dari batas pertemuan hingga akhirnya meninggalkan kenangan. Dan ombak yg sedari tadi masih menari pun menyadarkanku, tak ada yg abadi.


Bibir ini tak kuasa menghentikan percakapan bersama kawan-kawan, tak sanggup menutup cerita bak telenovela di Pulau Dewata, tak bisa menahan ribuan perasaan yg tak dapat dilukiskan. Ah, ternyata jemariku pun tak ingin kalah! Dia ingin menjadi saksi pendokumentasian sepekan perjalanan liburan ke dalam coretan-coretan. Namun sepertinya energiku telah terkuras, melemahkan saraf sensorikku untuk meraba kotak-kotak mini dengan berbagai simbol yg melekat, menguatkan rasa malasku untuk menundanya esok. Aku kembali memasukkan smartphone warisan Ayahku ke dalam tas coklat dengan sedikit rumbai di bagian bawah.

Ku usap peluh keringat yg baru saja terlahir dengan selamat. Sambil menyamankan posisi duduk, ku kibaskan kerudung merah maron agar kembali menutupi ujung rambut yg sedang bersandar mesra pada pundakku. Lalu ku masukkan poni rambutku yg sedang mengintip laut lepas di depan paras. Tak lama angin malam pun kembali menyapa ragaku, menggerakkan pita merah jambu yg begitu lemah tak berdaya pada kerudungku, dan membangunkan bulu kudukku yg terlelap.

Suasana gaduh penuh tawa masih terdengar jelas di belakangku. Itu dari mereka! Ya mereka! Cucu-cucu Adam yg hampir tiga tahun satu atap bersamaku, menimba ilmu demi membawa ijazah yg akan dibuka dengan suasana bangga berselimut haru dalam dekapan seorang Ibu. Mereka masih berbagi kisah bahagia di Pulau Dewata yg beberapa jam lagi tak akan ku pijak. Ya! Dua kakiku akan kembali berpijak di Pulau Jawa, bukan Dewata.

Kali ini waktu berjalan tanpa jeda, berlari tanpa henti, meninggalkan semua tanpa rasa iba. Mebiarkan memori berjalan sendiri, acuhkan kenangan yg semakin pudar dari pandangan, dan merelakan masa-masa itu terbawa debu demi lembaran baru. Ah, waktu.. kau memang selalu membuatku tak pernah tahu kemana arah jalan fikirmu. Tekadang kau begitu ambigu hingga membuatku pilu. Bahkan terkadang membuatku tak rela melihatmu berlalu.

Aku kembali memandangi ombak yg menciptakan gelombang. Belum jauh gelombang itu berlalu meninggalkan si ombak, gelombang baru telah lahir ke dunia. Belum lama gelombang baru itu menjauh, gelombang-gelombang kecil telah tampak menemani si ombak. Lalu tanpa sadar, aku kehilangan gelombang yg ku lihat di awal, ia gelombang pertama yg memasuki pandangannku.. aku menyebutnya gelombang tua. Gelombang yg mengawali seluruh lapisan gelombang lainnya. Semakin cepat ia pergi, semakin banyak pula gelombang yg terlahir ke bumi.

Ah.. kenapa ini harus terjadi? Kenapa kau harus pergi secepat ini? Aku masih ingin melihatmu gelombang tua.. Kau tahu? Ini hanya sekejap. Bahkan kilatpun terkalahkan oleh kehadiranmu. *Belum lama ku nikmati, ia sudah pergi. Rasanya aku ingin menggaruk kepalaku yg tak gatal!* Ahsudahlah, mungkin ini gambaran memori-memori kehidupan di bumi? Hari demi hari menjadi memori, kenangan demi kenangan selalu kurindukan. Kembali ku nikmati pop mie hangat yg masih dalam genggaman. Tak terkira, gelombang tua itu kembali menghapiri diri ini..! Mencubit kedua pipiku sambil berbisik lembut, "Tak ada yg abadi."










































Sembilan belas WITA. Di atas gelombang tua menuju Jawa.
Sedang melahirkan kenangan-kenangan yg ku kandung di Pulau Dewata.

6 komentar:

  1. Ini termasuk flashfiction bukan ya? Hehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kali. hehe
      awalnya mau nyritain liburan di bali, eh malah gini jadinya..

      Hapus
  2. akkkkk, Furi :""" kamu bikin aku kangen suasana kota Bali :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. uuuwh, sini-sini.. *pukpuk*

      bikin kamu kangen kota bali apa kangen nonton Barong.. buahahaha...!!

      Hapus
  3. Wihihihi... ceritanya sweet juga nih :')

    BalasHapus

Udah ngejanya? thanks yak... :)))) tapi gak keren donk kalo gak koment, gak sexy donk kalo gak ngisi, koment apa aja boleh.. yg penting bisa dieja. Tinggalin jejak lu juga yak biar gak disangka Maling.. :)